Rabu, 17 Maret 2010

Asuransi : Adakah Manfaatnya Bagi Saya ?

Asuransi? Duh, untuk apa sih! Demikian gumam saya saat ditawari seorang wanita cantik untuk mengikuti program asuransi. “Maaf mbak, tidak tertarik” saya berkata pada wanita tersebut dan lantas meninggalkannya seorang diri dalam kenestapaan. Dengan menegakkan kepala, saya pun mempercepat langkah saya agar tidak dibuntuti olehnya, sambil mengeluarkan senyuman licik seperti tokoh antagonis di sinetron, seolah berkata, “saya tidak butuh asuransi!”. Itulah pengalaman saya beberapa bulan lalu saat saya berada di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Saya memang tidak mengerti dan tidak tertarik untuk mengerti -terlebih mengikuti- program asuransi. Adakah kegunaannya? Bukankah hal itu hanya membuang-buang uang saja? Ya, menurut saya demikian. Kalaupun saya memegang uang, lebih baik saya gunakan untuk berbelanja barang-barang yang saya inginkan atau menyimpannya di bank. Sepengetahuan saya, asuransi akan berguna jika manusia mengalami musibah. Lantas saya berpikir, jika demikian, untuk apa mengikuti program asuransi? Toh, tidak ada orang yang mengharapkan dirinya tertimpa musibah. Lagipula, jika memang seseorang tertimpa musibah, itu adalah kehendak Tuhan, jadi tidak perlu dipermasalahkan. Pemikiran saya tersebut membuat saya semakin bingung mengapa semakin hari orang-orang semakin ramai membicarakan asuransi.

Tidak menarik dan tidak penting, demikian anggapan saya mengenai asuransi. Namun, saya kerap bingung ketika menemukan banyak sekali kantor-kantor asuransi dengan berbagai nama di banyak tempat. Ruko-ruko di pinggir jalan yang saya lalui pun tak jarang terdapat kantor asuransi. Bukankah ini tanda bahwa bisnis asuransi semakin berkembang? Bagaimana bisa? Jika memang pemikiran saya benar bahwa asuransi itu tidak penting dan tidak menarik, seharusnya tidak banyak kantor-kantor asuransi seperti kondisi yang saya temui saat ini. Seharusnya, mereka semua mengalami kebangkrutan dan bukannya terus tumbuh. Pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam benak saya. Tidak mungkin, asuransi tidak mungkin bisa berkembang di negeri ini, terlebih masih sangat banyak rakyat Indonesia yang hidup dalam garis kemisikinan. Untuk makan saja susah, terlebih untuk mengikuti program asuransi. Namun, mengapa saya menemui banyak perusahaan asuransi kian bermunculan di negeri ini? Mengapa asuransi terus berkembang? Mengapa iklan mereka semakin banyak ditemui? Apakah asuransi memberi keuntungan yang besar bagi nasabahnya? Mengapa mereka kerap menggunakan wanita cantik sebagai sales mereka -dan menutup peluang saya yang tampan ini bekerja untuk itu? Dan mengapa juga sampai-sampai nama auditorium di kampus saya -FISIP UI- pun bernama Auditorium ........(nama perusahaan asuransi)? Sebegitu 'heboh'nya kah asuransi? Apakah asuransi memang benar-benar penting? Lebih penting daripada mengagumi ketampanan diri saya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut kerap kali merasuki otak saya, hingga akhirnya membuat saya memutuskan untuk mencari tahu sebuah fakta: apa pentingnya mengikuti asuransi?

Untuk mencari tahu manfaat mengikuti program asuransi, saya berniat menelepon sebuah perusahaan asuransi. Saya melihat nama perusahaan asuransi di Yellow Pages. Mungkin tepat jika saya menelepon ke perusahaan ini. Hal tersebut tak terlepas dari status perusahaan asuransi yang merupakan perusahaan asuransi terbesar dan tertua di Indonesia. Sebenarnya, saya terkejut ketika mengetahui perusahaan asuransi ini benar-benar berdiri sekitar awal tahun 1900 an ..... dan masih tegak hingga kini. Seharusnya mereka sudah bangkrut sebelum tahun 1945 jika asuransi memang tidak bermanfaat dan tidak menguntungkan. Tetapi faktanya perushaan asuransi ini masih ada hingga saat ini dan usianya telah mencapai hampir seratus tahun. Fenomena ini semakin membuat saya penasaran dan ingin tahu mengenai apa sebenarnya manfaat asuransi. 2512154, saya tekan tombol-tombol angka tersebut dari telepon rumah saya. Saat nada sambung berbunyi, muncul perasaan ragu di benak saya: apakah saya akan terus menelepon dan mencari tahu informasi mengenai asuransi, atau menutup saja teleponnya? Saya takut sekali saat itu karena saya akan menelepon sebuah perusahaan asuransi, bukan untuk menanyakan layanan tentang asuransi di perusahaan tersebut, malah bertanya tentang manfaat asuransi. Saya berpikir, pasti saya akan dicaci-maki, dibilang bodoh atau merepotkan oleh pengangkat telepon nanti. Saya semakin takut. Namun, karena saya adalah pemuda perkasa dan gagah berani layaknya Prabu Angling Darma, saya memberanikan diri untuk melanjutkan niat semula.

“Selamat siang, ..........,?” suara di seberang telepon. “Uhmm... ini mbak... ehmm... saya ingin bertanya,” sahut saya di telepon dengan malu-malu. Jujur, saya bukan malu karena sedang berbincang dengan suara seksi wanita diujung telepon, tetapi saya malu menanyakan pertanyaan terbesar yang menghantui pikiran saya saat ini: apa manfaat ikut asuransi. Namun, saya tetap memberanikan diri -sudah saya bilang, saya gagah berani dan perkasa. “Mbak, saya mau tanya-tanya tentang asuransi, boleh mbak?” tanya saya kepada wanita tersebut. Tanpa disangka-sangka, telepon saya kemudian disambungkan pada Bapak Rizki, staf Departemen Komunikasi Perusahaan Asuransi tersebut. Saya pun menanyakan berbagai pertanyaan singkat mengenai asuransi kepada Bapak Rizki. Tetapi sayang sekali, saya malah lupa menanyakan pertanyaan utama saya: apakah manfaat asuransi. Saya baru saja melakukan hal yang sangat bodoh: sudah berkesempatan berbincang dengan salah seorang staf departemen komunikasi dari perusahaan asuransi ternama, tetapi justru tidak bertanya perihal pertanyaan utama yang ada dalam benak saya.

Karena malu untuk kembali menelepon Bapak Rizki, saya memutuskan untuk terus mencari tahu tentang asuransi dengan menelusurinya di internet dan membaca buku-buku di perpustakaan. “Hidup itu penuh dengan resiko,” demikian pernyataan Scott E. Harrington dan Gregory R. Niehaus dalam bukunya yang berjudul Risk Management and Insurance. Harrington dan Niehaus -yang merupakan profesor dari University of South Carolina- mendefinisikan resiko sebagai situasi yang penuh dengan ketidakpastian perihal apa yang akan terjadi. Untuk menghadapi resiko tersebut, perlu dilakukan manajemen resiko, dan asuransi adalah salah satu aplikasi manajemen resiko yang terbaik. Selain dari Harrington dan Niehaus, saya juga menemukan pendapat dari Riedel dan Miller mengenai manfaat asuransi. Dalam buku mereka yang berjudul Insurance Principles and Practices, Riedel dan Miller menyatakan berbagai manfaat asuransi, antara lain dapat membuat seseorang berada dalam keadaan aman serta dapat menjadi alat penabung. Lantas, bagaimana dengan pendapat akademisi dari Indonesia? Herman Darmawi, seorang akademisi dari Universitas Andalas, dalam bukunya yang berjudul Manajemen Asuransi juga menyatakan hal yang senada dengan Riedel dan Miller. Herman menyatakan fungsi primer dari asuransi ialah mengurangi kekhawatiran akibat ketidakpastian. Ia menambahkan, perushaaan asuransi memang tidak kuasa mencegah kerugian-kerugian akibat hal yang tak terduga seperti badai, kecelakaan, kematian, atau sakit, namun perusahaan asuransi dapat mengurangi beban ekonomi dari kerugian-kerugian tersebut. Dari berbagai penelusuran data yang telah saya lakukan, saya berkesimpulan ternyata asuransi memang penting dan bermanfaat, terlebih bagi rakyat Indonesia yang wilayah tempat tinggalnya rentan terjadi bencana alam. Setelah melakukan riset sederhana demi menjawab pertanyaan yang menggerayangi hati dan pikiran saya ini, saya menjadi tertawa sendiri dengan pemikiran awal saya yang menyatakan bahwa asuransi tidak penting dan tidak menarik.

Siang berubah menjadi malam, kepompong berubah menjadi kupu-kupu, dan kecebong berubah menjadi katak. Saya pun demikian. Saya juga berubah menjadi katak. Ya enggaklah, memangnya saya kecebong? Maksud saya, saya pun berubah pikiran mengenai asuransi. Saya yang semula tidak tertarik sama sekali, tampaknya mulai memiliki ketertarikan terhadap hal tersebut. Saya telah mengetahui berbagai manfaat asuransi, dan kini sedang mempertimbangkan untuk mengikuti program asuransi. Tapi... uang darimana? Nah, ini dia permasalahannya. Saya tidak tahu darimana saya mendapatkan uang sebagai premi yang akan saya bayarkan. Uang di dompet nampaknya hanya cukup membeli kebutuhan sehari-hari seperti sesuap nasi dan sebuah tiket bioskop. Tetapi, “when there is a will, there is a way,” demikian seru Om Rizal Malarangeng dalam iklannya yang sempat booming tahun lalu. Saya mungkin memang belum bisa bergabung dengan program asuransi untuk saat ini. Tetapi saya yakin, niat saya akan membuka jalan bagi saya nantinya untuk mengikuti program asuransi. Saya mendapat informasi ada sebuah lomba penulisan esai yang diadakan oleh perusahaan asuransi tersebut. Mungkin, inilah jalannya! Hadiah dari lomba ini mungkin saja bisa saya gunakan untuk premi saya, bukan begitu?

0 komentar:

Posting Komentar